Marmer Besole Memoles Dunia

Jumat, Januari 23, 2009 / Posted By Tycos Squad /

Kita, sebagai warga Tulungagung, sudah tentu seharusnya bangga dengan adanya komoditi marmer yang sangat jarang dimiliki oleh daerah lain. Apalagi, marmer tulungagung adalah marmer dengan kualitas terbaik di Indonesia. Namun, banyak warga Tulungagung sendiri yang bersikap biasa-biasa saja, padahal seharusnya mereka bangga dengan keistinmewaan daerahnya ini. Tulisan ini saya kutip dari www.besoleradiomadufm.com untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap keitimewaan yang dimiliki daerahnya ini…

Kalau bukan karena ada batu Marmernya, mungkin tidak banyak yang kenal dengan desa Besole dan desa Gamping yang terletak di kecamatan Campur Darat, kabupaten Tulungagung. Sebab kedua desa tersebut kecil, tanahnya tandus, panas dan letaknya jauh dari kota. Sebagian penduduknya pergi ke kota karena sulit mencari penghasilan di desa.

  Desa ini baru akan terlihat oleh orang luar bila ada wisatawan yang berkunjung ke pantai Popoh, pantai selatan yang terkenal dengan ombak Nyi Roro Kidulnya. Karena kebetulan letak desa ini satu jalur menuju pantai popoh. Pada kilometer ke 15 dari Tulungagung menuju pantai Popoh inilah bisa ditemukan desa Besolo dan Gamping. Namun sejak meningkatnya industri kerajinan Marmer di kedua desa tersebut, nama Besole dan Gamping tidak hanya dikenal di tingkat propinsi, tapi sudah keluar sampai ke manca negara. Negara-negara seperti Jepang, Korea, Jerman merupakan negara terbesar untuk pemasaran hasil industri marmer ini. Di dalam negeri sendiri hasil kerajinan Besole dan Gamping ini dapat di lihat dalam bentuk perlengkapan rumah, hotel, kantor dan lain-lain. 

  Batu Marmer dan Onix memang telah mengubah masyarakat desa ini. Mereka yang semula hanya sebagai buruh tani kini banyak statusnya berubah menjadi pengrajin. Yang semula pergi ke kota bila musim paceklik, kini lebih betah di desa. Dari 3100 jiwa (870 KK) penduduk desa, sebanyak 60 persen diantranya menggantungkan hidupnya sebagai pengrajin. Rata-rata mereka memiliki dua sampai tiga mesin penghalus marmer. Sisanya menjadi pekerja pada industri dan kerajinan marmer ini. Total tidak kurang dari 9.500 orang yang menggantungkan hidupnya dari gunung marmer Besole ini, mereka tidak hanya dari kabupaten Tulungagung tetapi juga dari luar seperti Trenggalek, Blitar, Pacitan dan daerah sekitarnya. 

  Selain dalam bentuk perabot yang mudah ditemukan di rumah tangga, perkantoran dan hotel yang mudah ditemukan batu marmer Besole dan Gamping ini ternyata menjadi bahan campuran aspal, bahan baku kosmetika dan campuran makanan ternak. 

  Menurut kepala desa Gamping, Irtadji, pengrajin marmer di desanya muncul sejak tahun 1989. "Sebelumnya warga biasanya pergi ke kota untuk mengadu nasib. Desa kami sering dilanda kekeringan karena lahan di sini merupakan sawah tadah hujan," katanya. Apalagi, menurutnya dari 236 hektar luas wilayah, hanya 52 hektar yang menjadi lahan pertanian. Dari jumlah tersebut, sebanyak 23 hektarnya merupakan sawah tadah hujan setengah teknis. 

  Melihat kondisi yang kritis ini, Pemda Tulungagung pada tahun 1989 menyediakan sebuah workshop di desa itu. Tujuannya adalah untuk mendidik dan melatih penduduk setempat agar mengalihkan pekerjaan dari sektor pertanian ke perindustrian. 

  Kini, para pengrajin marmer Tulungagung tak pernah berhenti melayani pesanan. Seperti diutarakan Priyo, pengrajin marmer di Gamping. Setiap bulan ia kewalahan memenuhi pesanan kerajinan marmer atau onix dari pelanggannya. 

  Demikian pula dengan Teguh Hariyanto yang telah membuka usaha kerajinan marmer yang mewarisi ayahnya. Dia mengakui hampir setiap saat ia kesulitan memenuhi pesanan pelanggan dari Jakarta, Bandung, dan kota-kota lain. Konsumen umumnya berharap barang yang dipesan cepat selesai, padahal pada hari-hari tertentu --seperti lebaran dan libur besar lain-- jumlah pekerja berkurang.


Berbagai kerajinan yang berasal dari marmer

Harganya cukup murah 

Harga hasil kerajinan warga Gamping yang sudah go international ini paling murah Rp 500, yang berbentuk sebutir telur. Rata-rata setiap bulan, setiap pengrajin bisa memproduksi berbagai jenis barang senilai paling sedikit Rp 1 juta. Bahkan ada juga yang penghasilannya mencapai Rp 10 juta per bulan. Adapun ongkos moles marmer tergantung dari ukuran dan tingkat kesulitan. Tapi rata-rata untuk seorang buruh pemoles Rp 2.500 perbuah untuk ukuran standar. Sedang ongkos tukang rata-rata Rp 5000 perhari. 

Meja kecil bertingkat dari onix, misalnya, hanya Rp 85.000 satu set. Meja tamu ukuran 50 cm x 200 cm berkisar Rp 150.000. Meja makan bundar atau oval rata-rata Rp 200.000 hingga Rp 300.000 tanpa kursi. Kalau ingin menghendaki meja makan putar satu set dengan kursi nilainya mencapai Rp 750.000. Sedangkan sebuah patung bisa seharga Rp 10 juta, bergantung pada bentuknya. 

Barang dari bahan batu onix lebih disukai konsumen karena warnanya bisa bening, kekuning-kuningan, krem, atau bergarisgaris seperti akar pohon. Batu ini kesannya seperti batu-batu alam yang belum disentuh teknologi, sehingga kelihatan antik. 

Marmer buatan penduduk dijual ke berbagai kota di Indonesia baik berupa blok maupun bubuk (mill) atau teraso (kepala tegel) untuk campuran semen. "Penghasilan setiap keluarga dari mengolah marmer sedikitnya Rp 100.000 per hari," kata Parto (45). 

Ide-ide baru bisa muncul saat mengikuti siaran televisi. "Begitu lihat, langsung dibuat pola, biar tidak lupa," kata Andjarwati, istri Yon. Telenovela di televisi, misalnya, adalah sumber inspirasi yang bisa digunakan untuk mengikuti selera konsumen, khususnya kalangan berduit. 

Maklum, semakin bervariasi barang yang diproduksi, konsumen pun semakin tertarik. "Supaya tidak ditinggalkan konsumen, kami harus banyak menciptakan bentuk baru dan unik serta antik," kata Andjarwati. Apalagi masyarakat kalangan atas menginginkan barang kerajinan yang tak dimiliki orang lain. Biar mahal, konsumen tetap membelinya, yang penting barang tersebut tak diproduksi pengrajin lain. 

Perkembangan zaman memacu pengrajin di Gamping untuk mencari inovasi baru. Kini segala barang yang diinginkan bisa dibuat oleh mereka, mulai dari sendok, piring, meja, sampai patung. "Semakin rumit pekerjaannya, harganya juga makin tinggi," kata Yon. 

Sayangnya dari sekian banyak pengrajin marmer yang ada di sana, hanya sebagian besar tidak memiliki ijin dari PT. Perhutani. Perusahaan yeng menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk mengawasan daerah ini. Padahal mayoritas penduduk desa ini menggantungkan hidupnya dari marmer. 

Sebenarnya sejak tahun 1983 PT Perhutani menetapkan bahwa penggali batu marmer di daerah tersebut harus memiliki Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD). Namun hinggi kini ijin yang keluar baru untuk PT Industri Marmer Indonesia (IMI), perusahaan inipun hanya bertahan hingga tahun 1994, sekarang sudah bangkrut dan ijinnya dialihkan pe PT Dwitunggal Marmer Indah (DMI). DMI memiliki lahan 17 hektar di kawasan itu. Dari luas itu, hanya enam hektar yang mendapat SIPD dari PT Perhutani untuk dimanfaatkan potensinya. Sedangkan sisanya merupakan kompleks perumahan karyawan dan pabrik serta sarana penunjang. 

Kini di desa Besole ini terdapat ratusan mesin penghancur batu dan pembuat marmer berbentuk balok atau bubuk. Jika pabrik besar mampu memproduksi mamer ukuran 2 meter x 3 meter, warga biasanya hanya memproduksi marmer berukuran kecil dan sedang. Ukurannya kira-kira 40 cm x 40 cm dengan ketebalan 2 cm seharga Rp 7.000 - Rp 8.000 perlembar. Persoalannya adalah bisakah mereka bertahan dengan kondisi sekarang.

(Sumber : www.besole.radiomadufm.com)


Label:

1 Comment:

D Guntoro on 16 Agustus 2009 pukul 00.15

Saya pernah selolah di disini: kelas Id/ 1975, kelasnya gedeg dibelakang paling timur, yang kemudian pindah ke boyolangu lulus 1979. saat ini domisili di Tanjung Enim SUMSEL. Salam untuk adik2 kelas yang muda yang menata masa depannya. Tatap masa depan anda dengan penuh kenyakinan, usahakan mulai sekarang walau hanya selangkah demi selangkah. Insya Allah akan berhasil. Amin.

B) :F :$ :J :( O: :K :D :M :S :) :O :P :@ :L :8

Posting Komentar

*
+
*
+
*
*
+
*
*
+
*